Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 menetapkan standar tinggi bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam melaksanakan kebijakan publik di Indonesia. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan kesenjangan mencolok antara peraturan dan pelaksanaan. Di tengah reformasi birokrasi yang dicanangkan, ASN seringkali terjebak dalam dilema birokrasi yang lambat, kurangnya integritas, dan ketidakmampuan untuk beradaptasi dengan perubahan yang cepat.
Sebagai pelaksana kebijakan, ASN diharapkan menjalankan tugas dengan efisien dan transparan, serta menjadi penghubung efektif antara pemerintah dan masyarakat. Namun, tantangan utama yang dihadapi adalah birokrasi yang menghambat keputusan dan pelayanan. Penundaan dan kompleksitas dalam proses birokrasi sering kali menyebabkan kebijakan yang seharusnya menguntungkan masyarakat malah menjadi bumerang, dengan dampak negatif yang merugikan.
Ketidakmampuan ASN dalam menjelaskan dan mengimplementasikan kebijakan dengan baik menjadi sorotan. Kasus-kasus pelayanan publik yang buruk dan tidak memadai menunjukkan bahwa pemahaman ASN tentang kebijakan seringkali dangkal. Hasilnya, masyarakat merasakan langsung dampak dari kebijakan yang tidak efektif dan pelayanan yang tidak memadai.
Lebih memprihatinkan adalah pengaruh tekanan politik dan campur tangan eksternal yang sering mengganggu integritas ASN. Alih-alih bertindak sesuai dengan prinsip profesionalisme, banyak ASN yang terpaksa tunduk pada kepentingan politik tertentu, mengabaikan kepentingan publik yang lebih luas.
Kritik tajam juga ditujukan pada peran ASN sebagai perekat bangsa. Di tengah keberagaman yang semakin menonjol, peran mereka seharusnya mendorong harmoni sosial dan memperkuat solidaritas. Namun, dalam praktiknya, sering kali terlihat ketidakmampuan ASN dalam menyatukan berbagai elemen masyarakat, yang justru memperburuk polarisasi dan ketegangan sosial.
Integritas dan profesionalisme ASN menjadi sorotan utama dalam reformasi birokrasi ini. Keberadaan ASN yang berintegritas tinggi dan profesional diharapkan dapat mengubah wajah birokrasi yang selama ini penuh masalah. Jika tidak ada perubahan nyata dalam cara ASN bekerja dan melayani, kepercayaan publik terhadap pemerintah akan terus tergerus, dan reformasi birokrasi hanya akan menjadi retorika kosong.
Jika ASN tidak mampu mengatasi tantangan ini dan beradaptasi dengan tuntutan zaman, maka reformasi yang diharapkan akan berakhir dengan kegagalan, dan masyarakat akan terus merasakan dampak dari ketidakmampuan birokrasi dalam melayani dengan baik.
*Penulis adalah Wartawan Senior