Maraknya Pungutan Liar di Sekolah

373

Maraknya pungutan liar (pungli) di lingkungan sekolah telah menjadi masalah serius yang mengganggu sistem pendidikan di Indonesia. Fenomena ini tidak hanya mendistorsi nilai-nilai pendidikan tapi juga membebani orang tua dan siswa secara finansial. Pungutan liar merujuk pada semua jenis pembayaran yang dilakukan di luar ketentuan resmi yang dikeluarkan oleh pihak sekolah atau pemerintah.
Pungutan liar di sekolah adalah segala bentuk pembayaran yang tidak memiliki dasar hukum atau ketentuan yang jelas dari pihak berwenang. Jenis-jenis pungutan liar ini bervariasi, mulai dari biaya masuk, biaya tambahan untuk kegiatan ekstrakurikuler, hingga biaya-biaya lain yang disyaratkan agar siswa dapat mengikuti kegiatan tertentu di sekolah.


Beberapa faktor yang menyebabkan maraknya pungutan liar di sekolah antara lain kurangnya alokasi dana pendidikan dari pemerintah, minimnya pengawasan dari badan terkait, dan kurangnya kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Ketidaktransparanan dan rendahnya akuntabilitas pengelolaan keuangan sekolah juga menjadi penyebab utama dari fenomena ini.
Dampak paling nyata dari pungutan liar adalah meningkatnya beban ekonomi bagi orang tua dan siswa. Hal ini tidak jarang membuat beberapa siswa harus berhenti atau mengundurkan diri dari sekolah karena tidak mampu membayar. Lebih lanjut, pungutan liar juga erat kaitannya dengan penurunan kualitas pendidikan, dimana kegiatan belajar mengajar terkadang lebih difokuskan pada aspek komersial daripada peningkatan mutu pendidikan itu sendiri.


Pemerintah telah mengambil beberapa langkah untuk menanggulangi masalah pungutan liar ini, termasuk melalui pemberlakuan undang-undang yang melarang semua jenis pungutan liar di institusi pendidikan dan menggalakkan sistem pendidikan gratis melalui program-program seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Nowe pemerintah juga aktif melakukan sosialisasi dan peningkatan pemahaman tentang hukum serta aturan yang berlaku kepada masyarakat luas.
Beberapa cara dapat dilaksanakan untuk memerangi pungutan liar di sekolah, di antaranya adalah peningkatan transparansi pengelolaan keuangan sekolah, penguatan peran serta keaktifan komite sekolah dalam mengawasi segala bentuk pungutan, serta peningkatan kesadaran bagi orang tua dan siswa untuk berani melaporkan jika terjadi kasus pungutan liar. Pihak sekolah dan pemerintah harus bekerja sama dalam menciptakan sistem pendidikan yang bersih dari praktik korupsi dan pungutan liar.
Banyaknya keluhan dari para orang tua siswa dari korban pungutan liar sering menggambarkan kesulitan finansial yang mereka alami akibat dari praktik tidak adil ini. Banyak dari mereka yang merasa terpaksa membayar demi mendapatkan hak pendidikan yang seharusnya gratis atau murah. Cerita-cerita tersebut penting untuk diangkat ke permukaan agar masyarakat lebih sadar akan hak-haknya dan menjadi lebih berani dalam melawan praktik korupsi di lingkungan pendidikan.
Salah satu contoh keluhan yang sering diajukan oleh orang tua murid terkait pungutan liar di sekolah adalah biaya tambahan yang ditagih untuk “sumbangan pengembangan institusi”. Orang tua sering menemukan bahwa jumlah yang diminta tidak hanya besar tetapi juga tidak jelas peruntukannya. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa uang yang mereka bayarkan tidak digunakan untuk peningkatan kualitas pendidikan, melainkan mengalir ke kantong pihak tertentu tanpa akuntabilitas yang jelas.
Para orang tua juga mengeluhkan tentang biaya seragam sekolah yang harganya jauh lebih tinggi dari harga pasaran. Mereka curiga bahwa pihak sekolah memiliki kesepakatan tertentu dengan penyedia seragam, sehingga harganya menjadi tidak wajar. Keluhan lainnya adalah tentang diperlukannya pembayaran untuk kegiatan ekstrakurikuler yang seharusnya menjadi bagian dari fasilitas pendidikan gratis. Hal ini menambah beban keuangan keluarga tanpa memberikan jaminan bahwa anak mereka akan mendapatkan pengalaman belajar yang lebih baik.
Lebih jauh lagi, beberapa orang tua.murid menyatakan kekecewaannya ketika mengetahui bahwa ada pungutan untuk kegiatan pendidikan yang seharusnya sudah didanai oleh pemerintah melalui program-program seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Perasaan terkejut dan kecewa ini meningkat ketika mereka menyadari bahwa uang yang mereka bayar sebagai kontribusi atas nama pendidikan ternyata menjadi korban praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang di lingkungan sekolah.