Emiten BUMN baja, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS) tengah mencari investor baru untuk menggarap proyek perusahaan, salah satunya adalah proyek blast furnace.
Saat ini setidaknya sudah ada dua calon partner berminat untuk bekerjasama dengan perusahaan yang berbasis di Cilegon, Banten ini.
Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim mengatakan kedua investor tersebut telah menyatakan komitmennya untuk serius menggarap proyek tersebut.
“Saat ini kami sudah memiliki dua calon mitra strategis, bahkan satu calon sudah menandatangani Memorandum of Agreement (MOA) dengan Krakatau Steel. Satu mitra lagi sudah menyampaikan surat minat untuk bekerja sama dalam hal Blast Furnace. Artinya sudah ada solusi atas proyek Blast Furnace. Kita targetkan Kuartal 3 2022 akan dioperasikan, ” kata Silmy dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), dikutip Rabu (6/10/2021).
Proyek ini adalah warisan manajemen lama KRAS sebelum Silmy Karim masuk. Menteri BUMN Erick Thohir bahkan sempat murka karena adanya proyek mangkrak ini yang nilai investasinya mencapai US$ 850 juta atau kisaran Rp 12 triliun.
Padahal pembangunan proyek ini dinilai telah memakan biaya investasi yang besar hingga membebankan perusahaan dengan utang menggunung.
Investasi yang dimaksud adalah investasi untuk pembangunan pabrik tanur tiup (blast furnace), yang digunakan untuk mereduksi secara kimia dan mengkonversi secara fisik bijih besi yang padat.
Silmy menjelaskan, dengan adanya investor baru ini, maka untuk menjalankan proyek blast furnace yang sudah mandek dari 2019 ini akan menggunakan teknologi baru.
Bahan baku produksi pabrik tanur tiup ini nantinya juga akan menggunakan bahan baku lokal, yakni pasir besi.
Penggunaan bahan baku lokal ini nantinya akan menghemat biaya produksi dan menurunkan impor bahan baku dari luar negeri yaitu iron ore.
“Proyek Blast Furnace diinisiasi pada tahun 2008 dan memasuki masa konstruksi pada tahun 2012, jauh sebelum saya bergabung di Krakatau Steel pada akhir tahun 2018. Manajemen saat ini sudah mendapatkan solusi agar fasilitas atau pabrik yang tadinya mangkrak bisa jadi produktif,” jelasnya.
Untuk diketahui, proyek blast furnace ini dihentikan operasionalnya sejak 5 Desember 2019 karena dinilai memiliki biaya tinggi.
Keputusan pabrik ini dihentikan setelah dilakukannya performance test untuk melihat apakah tujuan proyek tersebut sudah sesuai dengan feasibility study atau tidak.
Padahal, proyek ini diperkirakan memakan biaya mencapai US$ 850 juta atau kisaran Rp 12 triliun.
Tingginya biaya ini sebab molor hingga 4 tahun lamanya. Sebelumnya pabrik ini ditargetkan dapat beroperasi pada 2015, namun terpaksa molor hingga 2019 yang membuat kerugian materil perusahaan menjadi makin besar.
Kontrak pembangunan komplek pabrik dengan sistem Blast Furnace diteken pada tanggal 15 November 2011 dengan konsorsium kontraktor lokal PT Krakatau Engineering (PT KE) dan kontraktor luar, yaitu Capital Engineering and Research Incorporation Limited (MCC-CERI).
Total biaya kontrak yang ditandatangani sebesar US$ 334,9 juta untuk MCC-CERI dan Rp 1,81 triliun untuk PT KE. Jadi jika ditotal biayanya mencapai Rp 6,5 triliun (asumsi RP 14.000/US$).
Proyek pembangunan Blast Furnace Complex (BFC) KRAS mencakup Sintering Plant, Coke Oven Plant, Blast Furnace dan Hot Metal Treatment Plant dengan kapasitas produksi 1,2 juta metrik ton hot metal dan pig iron per tahun.
Silmy menegaskan semua upaya yang dilakukan ini didukung dengan manajemen yang bebas korupsi di mana Krakatau Steel sudah menerapkan ISO 37001:2016 sejak bulan Agustus 2020 sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan KKN, karena merupakan standar internasional yang dapat digunakan semua yurisdiksi serta dapat diintegrasikan dengan sistem manajemen yang sudah dimiliki Krakatau Steel saat ini.
“Kaitan adanya indikasi penyimpangan/korupsi di masa lalu tentu menjadi perhatian manajemen. Fokus saya ketika bergabung adalah mencarikan solusi dan melihat ke depan agar Krakatau Steel bisa selamat terlebih dahulu,” ungkap Silmy.
“Satu demi satu masalah di Krakatau Steel sudah kami atasi, perusahaan yang lama tidak untung, pabrik yang tidak efisien, maupun proyek yang belum selesai sudah banyak yang selesai dan sisanya sudah didapatkan solusinya,” pungkasnya.
Sumber: CNBC Indonesia