Banten kembali dirundung polemik serius terkait distribusi bantuan sosial (bansos). Bukannya membantu rakyat miskin yang benar-benar membutuhkan, ribuan warga kaya justru menikmati bansos sembako dari pemerintah. Ironisnya, Gubernur Banten Andra Soni mengaku baru mengetahui fakta ini setelah Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) mengungkapkan data tersebut dalam dialog sosial di Pendopo Gubernur, Kota Serang, Rabu (19/3/2025).
Gubernur Baru Tahu?
Seakan tanpa pengawasan selama ini, Andra Soni terkejut saat mendengar ada 4.386 warga berkategori mampu hingga kaya yang menerima bansos. “Ternyata selama ini data orang miskin kita banyak yang belum sempurna,” ujar Andra kepada wartawan.
Padahal, keluhan tentang bansos yang tidak tepat sasaran sudah sering disuarakan warga miskin di Banten. Saat blusukan, Andra sendiri mendengar banyak masyarakat mengeluhkan bahwa mereka tak pernah mendapatkan bantuan, meski hidup dalam keterbatasan. Namun, baru setelah data dari Mensos mencuat, pemerintah daerah akhirnya mengakui ada yang salah dalam sistem mereka.
Data Amburadul, Siapa yang Bertanggung Jawab?
Kasus bansos salah sasaran bukan hal baru. Meski pendataan telah beralih dari Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) ke Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) dengan klaim lebih akurat, kenyataannya, kesalahan tetap terjadi.
“Kalau DTSEN kan bisa mengecek diri kita sendiri apakah kita masuk desil (kategori kesejahteraan) 1 atau 10,” kata Andra.
Namun, pertanyaannya, bagaimana mungkin mereka yang masuk kategori desil 10—kelompok paling kaya—masih bisa lolos sebagai penerima bansos? Apakah ini sekadar kesalahan teknis, atau ada permainan di balik pendistribusian bantuan?
Miskin Tetap Miskin, Kaya Makin Untung
Menurut data dari Mensos Gus Ipul, total 334.415 warga Banten tercatat sebagai penerima bansos. Namun, dari jumlah tersebut, 4.386 di antaranya adalah warga yang tergolong mampu hingga kaya.
“Banyak penduduk Banten yang masuk desil 10 (kelompok sejahtera tertinggi) jadi penerima bansos. Desil 10 ini kan sudah paling kaya. Temuan pertama kami seperti ini,” ujar Gus Ipul.
Temuan ini menegaskan ketimpangan yang terus berulang. Warga miskin yang benar-benar membutuhkan justru tidak mendapatkan bantuan, sementara mereka yang memiliki kehidupan layak masih bisa menikmati hak yang bukan milik mereka.
Solusi atau Janji Kosong?
Gubernur Andra Soni berjanji bahwa dengan pendataan ulang melalui DTSEN, bansos akan lebih tepat sasaran. Namun, tanpa pengawasan ketat dan transparansi, apakah kesalahan serupa tidak akan terulang?
Kasus ini kembali mempertanyakan efektivitas dan kejujuran pemerintah daerah dalam mengelola bantuan untuk rakyat. Jangan sampai program bansos yang seharusnya menjadi penyelamat bagi masyarakat miskin justru berubah menjadi lahan bancakan bagi mereka yang sudah berkecukupan. (*/rdd)