Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita angkat bicara terkait banyaknya perusahaan elektronik yang tutup dan berdampak pada pemutusan hubungan kerja (PHK). Baru-baru ini, dua pabrik Yamaha dikabarkan akan menghentikan operasinya, yang berpotensi menyebabkan sekitar 1.100 karyawan kehilangan pekerjaan.
Menurut Agus, industri manufaktur secara umum masih menunjukkan pertumbuhan positif. Hal ini tercermin dari Indeks Kepercayaan Industri (IKI) serta Purchasing Managers’ Index (PMI), yang terus berada di atas 50 poin, menandakan ekspansi.
“Kami sedang mengkaji lebih dalam fenomena ini. Meski ada perusahaan yang tutup, realisasi investasi baru cukup besar. Data menunjukkan pertumbuhan manufaktur di atas 4 persen. Namun, tentu kami tidak bisa mengabaikan kasus PHK ini dan perlu memahami akar permasalahannya,” ujar Agus dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Perindustrian, Rabu (26/2/2025).
Ia menekankan bahwa penyebab tutupnya pabrik harus dianalisis secara menyeluruh, mulai dari hulu hingga hilir. Jika hanya fokus pada bagian akhir dari rantai industri, maka akan sulit menemukan solusi yang efektif.
“Setiap PHK adalah persoalan serius, bukan sekadar angka dalam statistik. Kita harus merasakan dampaknya secara langsung, seolah itu terjadi pada saudara kita sendiri. Oleh karena itu, kami selalu mengevaluasi setiap kasus—apakah karena mismanajemen, ekspansi berlebihan, atau ketidakmampuan bersaing, terutama dengan produk impor,” jelasnya.
Agus juga menyoroti kemungkinan relokasi pabrik ke negara lain akibat insentif yang lebih menarik. Menurutnya, pemerintah terus mempelajari faktor-faktor yang menyebabkan perusahaan memilih untuk berpindah.
“Kami harus memahami alasan relokasi. Apakah negara lain menawarkan insentif yang lebih menarik? Jika iya, apa yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki daya saing?” tambahnya.
Ia mengakui bahwa setiap kali terjadi PHK, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Ketenagakerjaan selalu menjadi sorotan utama. Namun, ia menegaskan bahwa kebijakan terkait insentif dan regulasi perdagangan tidak sepenuhnya berada di bawah kewenangan kementeriannya.
“Kami tentu ikut bertanggung jawab, tetapi kebijakan insentif untuk meningkatkan daya saing bukan hanya di tangan kami. Ada berbagai aspek seperti safeguard, larangan dan pembatasan (lartas), serta hambatan non-tarif yang juga melibatkan kementerian lain,” ungkapnya.
Sektor elektronik, menurut Agus, merupakan salah satu prioritas utama pemerintah karena kontribusinya terhadap ekonomi nasional dan penyerapan tenaga kerja yang besar. Namun, ia mengakui bahwa serbuan produk impor menjadi tantangan besar bagi industri lokal.
“Industri elektronik adalah salah satu dari tujuh sektor yang menjadi perhatian kami. Selain berkontribusi besar terhadap PDB, sektor ini juga menyerap banyak tenaga kerja. Namun, serbuan produk impor cukup mengkhawatirkan dan bisa melemahkan daya saing industri dalam negeri. Oleh karena itu, kami harus mengambil langkah strategis untuk mengatasi tantangan ini,” tutupnya.
Sebelumnya, Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Riden Hatam Aziz, mengungkapkan bahwa dua pabrik Yamaha yang akan tutup adalah PT Yamaha Music Product Asia di kawasan MM2100, Bekasi, dan PT Yamaha Indonesia di Pulogadung, Jakarta.
“PT Yamaha Music Product Asia di Bekasi akan berhenti beroperasi pada akhir Maret 2025, dengan sekitar 400 karyawan terdampak. Sementara PT Yamaha Indonesia di Pulogadung, Jakarta, yang memiliki 700 pekerja, dijadwalkan tutup pada akhir Desember 2025,” ungkap Riden kepada CNBC Indonesia. (*/red)