Pemerintah Indonesia baru saja mengesahkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 yang mencakup Pasal 103 ayat 4 tentang pemberian kondom kepada siswa sekolah. Langkah ini, yang mengadopsi model Comprehensive Sex Education (CSE) yang biasa diterapkan di Barat, memicu perdebatan panas di kalangan masyarakat. Dalam pandangan ini, negara tampak mengadopsi sikap permisif terhadap hubungan seksual di kalangan remaja, dengan alasan untuk mencegah penularan HIV dan memastikan hubungan seksual berlangsung tanpa paksaan.
Namun, kebijakan ini berpotensi mengancam nilai-nilai Pancasila yang menjadi dasar ideologi negara. Dengan mempromosikan pendekatan yang lebih permisif terhadap seksualitas, kita harus bertanya: apakah langkah ini sejalan dengan cita-cita Indonesia Emas 2045? Apakah kita siap menanggung konsekuensi dari pengajaran permisifisme yang dapat merusak moral dan integritas generasi muda kita?
Selain itu, ide ‘konselor sebaya’ yang akan memberikan konseling kepada siswa juga membawa tantangan tersendiri. Dengan pengawasan dan bimbingan yang mungkin kurang memadai, ada risiko bahwa konseling ini justru bisa memperburuk situasi dan menambah kebingungan di kalangan remaja.
Di penghujung masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, sangat penting bagi kita untuk merenungkan implikasi jangka panjang dari kebijakan ini. Apakah ini adalah langkah yang bijak atau justru sebuah upaya untuk merusak tatanan kehidupan bangsa? Saatnya umat beragama dan masyarakat umum berpadu untuk menjaga NKRI dari pengaruh ideologi trans-nasional Barat yang destruktif dan berpotensi mengancam masa depan bangsa kita. Kita harus bertindak bijak untuk memastikan bahwa kebijakan yang diterapkan tidak hanya sesuai dengan kebutuhan saat ini tetapi juga selaras dengan nilai-nilai luhur dan cita-cita bangsa.