Sosok Gus Sholah, Ulama, Pejuang HAM dan Diskusiaru

4321

gus_sholah

Innaa lillaahi wa innaa ilaaihi raaji’uun . Pengasuh Pondok Pesantren (Ponpes) Tebuireng di Jombang, Jawa Timur (Jatim) KH Salahuddin Wahid atau yang akrab disapa Gus Sholah setelah diajari di Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta, Minggu (2/2/2020) malam pukul 20.55 WIB.

Gus Solah membahas dampak penyakit sejak Senin, 27 Januari 2020. Kondisi Gus Solah menurun usai perbaikan operasi pada Jumat, 31 Januari 2020.

Kabar tersebut disampaikan langung putranya, Irfan Wahid atau yang terkenal dengan sebutan Ipang Wahid melalui akun Twitternya, Minggu (2/2/2020). “Gus Sholah baru saja wafat pada pukul 20.55 WIB,” katanya seperti dikutip iNews.id.

Ipang meminta maaf atas kesalahan ayahandanya. “Mohon dimaafkan seluruh kesalahan. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu,” katanya.

Dikutip laduni.id , KH. Salahuddin Wahid (Gus Sholah) yang disetujui di Jombang 11 September 1942. Gus Sholah merupakan cucu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari. Gus Sholah merupakan putra tiga dari enam bersaudara pasangan KH Wahid Hasyim (Ayah) dan Sholichah.

Selain ulama, adik kandung mantan Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini, juga merupakan aktivis, politisi, dan tokoh Hak Asasi Manusia (HAM).

Gus Pendidikan menengah di SD KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi). Ketika naik ke kelas IV, Salahuddin pindah ke SD Perwari yang terletak di seberang kampus UI Salemba.

Antara tahun 1955-1958, Gus Sholah melanjutkan sekolahnya di SMP Negeri I Cikini. Selepas SMP, Gus Solah melanjutkan ke SMA Negeri I.

Setamat SMA, Gus Sholah melanjutkan studinya ke Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1962. Dia memilih jurusan arsitektur. Semasa kuliah di Bandung, ia aktif dalam kegiatan Senat Mahasiswa dan Dewan Mahasiswa. Sejak tahun 1967, ia juga aktif di organisasi mahasiswa ekstra kampus, dan memilih Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sebagai wadah bernaungnya.

Di samping bersekolah, sejak kecil Gus Sholah bersama saudara-saudaranya juga belajar mengaji yang merupakan aktivitas rutinnya setiap hari.

Ketika memungkinkan masih hidup, kegiatan mengaji dipimpin langsung oleh sang ayah. Selain belajar membaca Alquran, remaja Salahuddin juga belajar fikih, nahwu, shorof, dan tarikh (sejarah Islam). Guru-gurunya antara lain Ustaz Muhammad Fauzi dan Ustaz Abdul Ghoffar. Lulusan alumni Ponpes Tebuireng yang tinggal di Jakarta.

Salahuddin mengikuti pendidikan pesantren melalui Pesantren Ramadhan. Selama beberapa kali liburan sekolah di bulan Ramadhan, ia belajar ke Pesantren Denanyar Jombang bersama adiknya, Umar Wahid. Menginjak usia dewasa, cara yang ditempuhnya untuk belajar adalah dengan membaca sendiri buku-buku agama.

Pada tahun 1968, Gus Sholah menikah dengan Farida, putri mantan Menteri Agama, KH Syaifudin Zuhri. Pernikahan ini cukup unik, karena sama-sama-sama anak mantan Menteri Agama.

Gus Sholah terlebih dahulu mengenal (calon) tahu sebelum mengenal (calon) mertuanya. Dia tertarik dengan Farida tetapi belum tahu Farida adalah putri dari menteri agama.

Dari pernikahan itu, Gus Sholah dikaruniai tiga anak, yaitu Irfan Asy’ari Sudirman (Ipang Wahid), Iqbal Billy, dan Arina Saraswati.

Gus Sholah mulai merintis karirnya di bidang kontraktor. Pada tahun 1970, Hamid Baidawi mendirikan perusahaan kontraktor bersama dua orang kawan dan kakak iparnya.

Selain itu, Gus Sholah juga pernah bergabung dengan Biro Konsultan PT MIRAZH, menjadi Direktur Utama Perusahaan Konsultan Teknik (1978-1997), Ketua DPD Ikatan Konsultan Indonesia / Inkindo DKI (1989-1990), Sekretaris Jenderal DPP Inkindo (1991-1994), Direktur Assosiate Perusahaan Konsultan Properti Internasional (1995-1996), dan masih banyak yang lain. Singkatnya, sejak tahun 1970 hingga 1997, sebagian besar aktivitasnya adalah di bidang arsitektur dan konstruksi.

Sejak bergulirnya Era Reformasi, keterlibatan Gus Sholah dalam bidang politik semakin intens. Pada tahun 1998, dia ditawari menjadi Sekjen PPP dengan calon Ketua Umum, Amien Rais. Akan tetapi, rencana itu gagal karena Amien Rais menolak dan memilih mengadakan pemilihan sendiri (PAN).

Setelah itu ia bergabung dengan Partai Kebangkitan Umat (PKU), dan menjadi Ketua Dewan Pimpinan Pusat serta Ketua Lajnah Pemenangan Pemilu PKU. PKU adalah partai yang dibentuk oleh Kiai Yusuf Hasyim.

Pada September 1999 Gus Sholah mengundurkan diri dari PKU. Lalu pada Muktamar NU ke-30 di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Gus Solah ikut maju sebagai salah satu kandidat Ketua Umum PBNU.

Gus Sholah kemudian terpilih sebagai salah satu ketua PBNU periode 1999-2004. Pada Muktamar NU tahun 2004 di Solo, Gus Sholah yang ditawari kembali menjadi ketua PBNU menolak tawaran tersebut.

Pada akhir tahun 2001, Gus Sholah didaftarkan oleh adik iparnya, Lukman Hakim Syaifudin, sebagai calon anggota Komnas HAM. Meskipun dengan persiapan sekadarnya, ia berhasil lolos dalam uji kelayakan (uji kemampuan dan kepatutan ), sehingga terpilih sebagai salah satu dari 23 anggota Komnas HAM periode 2002-2007. Pada saat yang sama, Gus Sholah terpilih sebagai Wakil Ketua II Komnas HAM.

Selama berkiprah di Komnas HAM, Gus Sholah dihadapkan pada TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) untuk membahas kerusuhan Mei 1998 (Januari-September 2003), kemudian Ketua Tim Penyelidik Adhoc Pelanggaran HAM Berat Mei 1998, Ketua Tim Penyelidikan Kasus Pulau Buru, dan berbaring sebagainya. Sejak saat itu popularitasnya semakin menanjak.

Ketika sistem pemilihan presiden dan wakil presiden dilakukan secara langsung, Gus Sholah dipinang Golkar untuk maju sebagai Cawapres berpasangan dengan Wiranto. Deklarasinya dilakukan di Gedung Bidakara, Jakarta, Selasa 11 Mei 2004. Ini merupakan babak baru dari perjalanan karir politiknya. Untuk menunjukkan keseriusannya sebagai Cawapres, Gus Sholah mengundurkan diri dari Komnas HAM dan PBNU.

Pada Pebruari 2006, KH. Muhamad Yusuf Hasyim (Pak Ud) menyampaikan niatnya untuk mundur dari jabatan pengasuh Tebuireng. Pak Udinta Gus Solah untuk memintanya. Lalu pada tanggal 12 April 2006, Gus Solah bertemu dengan Pak Ud dan keluarga besar Tebuireng, serta para alumni senior, untuk menyelesaikan rencana pengunduran diri Pak Ud dan naiknya Gus Solah sebagai asistenuh Ponpes Tebuireng.

Selama memimpin Ponpes Tebuireng, Gus Solah menyetujui menggugah kesadaran para guru, pembina santri, untuk memperbaiki diri dan meningkatkan kinerja berdasar keikhlasan dan kerja sama.

Mulai awal tahun 2007, di Tebuireng menerapkan sistem full day school di semua unit pendidikan. Para pembina dibekali dengan latihan khusus, baik latihan kedisiplinan dan psikologi, sehingga dapat menjalankan tugas dengan baik.

Sejak awal kepemimpinannya, Gus telah menyelesaikan perbaikan fisiknya secara bertahap. Klinik kesehatan dibangun di dekat kompleks SMA, masjid diperlengkapi dan ditingkatkan mutunya dengan tetap mempertahankan bangunan lama, ruang makan juga diperbaiki, dan gedung-gedung tua menguat. Seluruh proses pembangunan fisik ini direncanakan selesai dalam 5-7 tahun.

Selain menakhodai Tebuireng, aktivitas Gus Solah di berbagai kegiatan sosial tetap padat. Dia menjadi anggota Forum Pemantauan Pemberantasan Korupsi (2004), Barisan Rakyat Sejahtera (Barasetra), Forum Indonesia Satu (FIS), Kajian Masalah Kepahlawanan yang disusun oleh IKPNI (Ikatan Keluarga Pahlawan Nasional Indonesia), dan lain-lain.