Komisaris Independen PT Krakatu Steel (Persero) Roy Maningkas mundur dari jabatannya. Roy mengatakan, surat permohonan pengunduran diri diajukan ke Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selaku pemegang saham sejak 11 Juli 2019.
Keputusan ini dilatarbelakangi oleh pengoperasian proyek Blast Furnace yang dibangun sejak 2011. Pabrik yang dibangun dengan nilai proyek sebesar $500 juta AS di area seluas 55 hektar itu akan menghasilkan 1,2 juta ton hot metal per tahun.
Namun menurut Roy, proyek ini mengalami pembengkakan investasi akibat keterlambatan penyelesaian proyek dari sebelumnya Rp7 triliun menjadi Rp10 triliun.
”Sebenarnya sejak 11 Juli 2019, permohonan pengunduran diri saya dari PT Krakatau Steel sebagai Komisaris Independen bukanlah untuk konsumsi publik,” kata Roy dilansir dari CNBC Indonesia, Rabu (24/7/2019).
Roy melanjutkan, dalam pengoperasian fasilitas tersebut ada sejumlah hal yang janggal. Pertama adalah waktu uji coba yang seharusnya enam bulan dipangkas menjadi dua bulan. Hal ini untuk menghindari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Kedua, ketersediaan bahan baku proyek Ktrakatau Steel yang belum pasti.
Dia melanjutkan, masalah berikutnya adalah biaya pokok produksi slab dari fasilitas tersebut lebih mahal $82 per ton dibanding harga pasar. Apabila diproduksi 1,1 juta ton per tahun, maka potensi kerugian Krakatau Steel sekitar Rp1,2 triliun per tahun.
“Ini proyek maju kena mundur kena. Diterusin rugi Rp1,2 juta per tahunnya. Enggak diterusin Rp10 triliun hilang. Ini kepentingan siapa? Dipaksakan berproduksi ini kepentingan siapa?,” tuturnya.
Pada 15 Juli 2019, Roy menghadap Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno. Dalam pertemuan tersebut, Roy diminta untuk melanjutkan masa jabatannya sampai periode jabatan habis pada April 2020.
Dirinya pun memastikan ada solusi untuk permasalahan Proyek Blast Furnance. Namun, jawaban yang didapat pengoperasian fasilitas harus tetap berjalan, hal ini membuat keputusan mundur dari komisaris semakin bulat.
Wakil Presiden Jusuf Kalla menanggapi keputusan mundurnya Roy tersebut. Ia menilai penyelesaian permasalahan yang melilit Krakatau Steel hanya dapat dilakukan melalui pembenahan manajemen dan teknologi.
“Ya memang Krakatau Steel itu mengalami kesulitan keuangan yang berat dengan utang yang begitu besar hampir Rp30 triliun,” kata JK dilansir dari Tempo.co.
Menurutnya, persoalan yang dihadapi emiten berkode saham KRAS ini merupakan permasalahan yang sudah puluhan tahun. Untuk itu dibutuhkan penyelesaian menyeluruh agar pabrik baja terintegrasi di Cilegon, Banten, itu dapat bersaing.
“Masalah pokoknya ialah Krakatau Steel itu menggunakan teknologi lama, kemudian dapat saingan baja dari Tiongkok yang lebih murah. Sehingga impor makin banyak dan tidak bisa bersaing,” katanya.
Beban Krakatau Steel berjuang keluar dari jurang kerugian memang cukup berat. BUMN yang didirikan pada 1970 itu berkali-kali diterpa isu kebangkrutan hingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan secara massal.
Per kuartal I 2019, Krakatau Steel masih dijerat oleh masalah keuangan perusahaan dengan mencatat rugi sebesar $62,3 juta, membuat KRAS perlu menyiapkan langkah strategis untuk bangkit.
Krakatau Steel juga tercatat memiliki jumlah utang yang tidak main-main. Per kuartal I, utang jangka pendek perusahaan mencapai $1,59 miliar atau setara dengan Rp 22,26 triliun, sedangkan utang jangka panjang sebesar $899,43 juta atau Rp12,59 triliun.
Kemudian, jika ditelaah lebih lanjut, 71 persen utang jangka pendek merupakan pinjaman yang diperoleh dari pihak bank, baik atas nama perusahaan atau entitas anak.
Meski begitu pemerintah tidak bisa membayar utang Krakatau Steel begitu saja. JK hanya menegaskan pemerintah sebagai pemegang saham akan membantu perusahaan agar segera terlepas dari lilitan masalah. (Red)