Hadiri Istighosah Kubro, Empat Keturunan Ulama Besar ini Bicara Soal Cilegon

1528

Istighosah Kubro MBJBidik Banten – Empat orang keturunan Ulama Besar yakni Kyai Haji Humaedi keturunan Syech Nawawi Albantani, Kyai Haji Mansyur keturunan Kyai Wasid pencetus Geger Cilegon, Kyai Haji Didi Faridzi keturunan Syech Asnawi Tanara dan Helldy Agustian keturunan Syech Arsyad Towil angkat bicara soal penghargaan para ulama dan perkembangan kota ini yang mereka nilai tidak memiliki konsep yang jelas.

“Saya bicara didepan para Kyai dan Ulama karena saya diminta memberikan kesaksian tentang Syech Nawawi Albantani, meskipun saya hanya keturunan Ta’alum tapi saya bersaksi bahwa ajaran Syech Nawawi adalah benar dan wajib dipercaya. Syech Nawawi sangat disegani dan termashur di Kota Merah, Arab Saudi makanya kita harus bangga menjadi orang Banten, namun anehnya disini saya kurang melihat kebanggaan itu”terang Kyai Humaedi dalam petikan ceramahnya.

Hal senada dikatakan Kyai Mansyur Muhidin selaku keturunan Kyai Wasid tokoh pejuang Geger Cilegon, bahkan dirinya merasa miris jika mengingat leluhurnya yang merupakan pejuang Cilegon namun pihak Pemerintah daerah kurang mengapresiasi keberadaannya.

“Kata Banten menjadi kata ‘bantahan’ karena Banten tidak pernah menyerah terus menerus melawan penjajah Belanda waktu itu, kemudian di jaman Proklamasi, ‘Banten dikenal dengan kata ‘Bantuan’ dan kemerdekaan Republik Indonesia bukan hadiah penjajah penjajah tapi ditebus dengan darah dan air mata, dan perjuangkan bangsa Indonesia dimulai oleh oleh para alim ulama, para kyai dan para santri. Ketika penjajah akan kembali menjajah kita maka seluruh rakyat Banten mulai dari petani, Kyai dan para santri bersatu bahu membahu bersejarah an golek, bambu runcing berangkat ke Jakarta memberikan bala bantuannya. Di Serpong ada seribu makam para pejuang yang gugur dan dimakamkan dalam satu lubang, mereka gugur membela tanah ini yang akan direbut kembali oleh penjajah. Nama besar Kyai Wasid sangat dikenal diluar hingga ke kota Manado namanya sangat dikenal, namun di kotanya sendiri tidak ada monumen ataupun penanda sejarah sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasanya”papar Kyai Mansur.

Sementara itu Helldy Agustian sebagai pewaris keturunan dari Syech Arsyad Towil menyoroti tentang minimnya pengetahuan tentang sejarah ‘Geger Cilegon’ padahal di Kota lain cerita sejarah ‘Geger Cilegon’ sangat dikenal.

“Saya sedih jika bicara tentang Peristiwa Geger Cilegon, karena orang Cilegonnya sendiri tidak hapal dengan sejarah kotanya sendiri, padahal sejarah Geger Cilegon sangat dikenal di luar daerah, bahkan anak kecil di Kota Manado sangat hapal cerita sejarah Geger Cilegon. Dan Pemerintah Daerah sendiri yang saya tahu belum pernah memperingati sejarah kepahlawanan itu, maka saya jika memperingati itu saya sering mengucapkan lewat koran-koran saja”ungkap Helldy.

Ungkapan senada juga dikatakan oleh Kyai Haji Didi Faridzi sebagai penerus keturunan Syech Asnawi Caringin Banten, menurutnya kota Cilegon dulunya dijenal sebagai kota Santri karena banyak para santri dan Ulama yang mengharumkan kota ini, namun dirinya merasa prihatin melihat perkembangan kota ini yang kian hari semakin jauh dari nilai-nilai santri. (Dik)