PANDEGLANG, (BidikBanten) – Sinta Anggraeni, seorang gadis berusia 12 tahun, warga Kampung Neglasari, Kecamatan Panimbang, Kabupaten Pandeglang, anak dari seorang nelayan, harus terpisah dari kedua orang tuanya akibat faktor ekonomi. Sinta yang kini tinggal bersama orangtua angkatnya, terpaksa tidak sekolah dan menjadi tukang kuli cuci pakaian.
Setiap harinya, Sinta berkeliling kampung menawarkan jasa cuci pakaian kepada tetangga yang tinggal di Kampung Neglasari. Sinta yang seharusnya duduk di bangku SLTP, terpaksa tidak dapat melanjutkan sekolahnya karena faktor ekonomi. “Orang tua saya saat itu tidak mampu membiayai sekolah, dan saya dititipkan kepada tetangga, untuk merawat saya hingga saat ini. Sementara ibu dan bapak saya entah pergi kemana, karena hingga kini tidak ada kabar berita,” katanya. Minggu (27/11/2016)
Shinta pun tidak mau terlena karena nasib yang dialaminya. Dua tahun berlalu terpisah dari orang tua, setiap pagi Sinta harus bekerja keras untuk membantu ekonomi keluarga barunya, dan memilih untuk tidak sekolah. Pekerjaan berat yang dilakukan shinta ini bukan tidak beralasan, Shinta ingin melanjutkan sekolahnya di SMP, namun keterbatasan ekonomi keluarga, maka ini terpaksa dilakukan. “Cita-cita saya ingin menjadi guru, tetapi karena tidak sekolah harapan dari cita-cita saya tidak akan tercapai karena saya tidak melanjutkan sekolah dan tidak ada biaya, saya malu jika harus memberatkan beban orang tua angkat saya, yang merupakan tetangga yang mendapatkan titipan dari orang tua saya untuk merawat saya,” ujarnya.
Orang tua angkat Sinta, Emi mengaku, tidak pernah sama sekali menyuruh Sinta untuk bekerja. “Shinta sebenarnya ingin melanjutkan sekolah, tapi akibat minimnya pendapatan suami saya hanya sebagai nelayan, yang penghasilannya tidak menentu dan terbilang sangat minim, membuat Sinta tidak bisa melanjutkan sekolah ke SMP,” tuturnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Pandeglang, Salman Sunardi mengatakan, dari data yang ada di dinas pada saat ini, penyebab dari terjadinya anak putus sekolah, yang paling tinggi karena faktor ekonomi, terutama mereka yang tinggal di pesisir pantai, yang mayoritas pekerjaan orang tuanya sebagai nelayan. “Selain faktor ekonomi, yang membuat terjadinya anak putus sekolah, di Kabupaten Pandeglang ini pola pikir dari orang tua masih lemah. Mereka tidak berpikir panjang terhadap masa depan anaknya, yang seharusnya sekolah, karena bisa saja meski tidak ada biaya, atau tidak mampu menyekolahkan anak, orang tua tetap berusaha dan berkeinginan untuk menyekolahkan anaknya. Memang terhadap anak putus sekolah merupakan PR kami untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat, agar masyarakat mengetahui Prorgam Wajib Belajar 9 Tahun terhadap anak, itu wajib dilaksanakan,” pungkasnya. (Mg03)