Ahamed adalah dari puluhan penduduk Muslim Aluthgama yang menjadi korban serangan Boddhu Bala Sena (BBS), kelompok ekstremis Buddha, dua hari lalu. Empat orang tewas dalam serangan di Aluthgama. Belasan lainnya luka serius.
Sejumlah rumah milik keluarga Muslim. Salah satunya milik Ahamed, country manager perusahaan obat-obatan Acme Laboratory. Lainnya adalah toko-toko, yang hampir seluruhnya milik Muslim.
“Mereka coba membakar semua, meratakan dengan tanah,” lanjut Ahamed seperti dikutip Aljazeera.
Sri Lanka adalah rumah bagi banyak etnis dan agama. Mayoritas Sinhala memeluk Budha. Tamil Eelam mengaut Hindu. Islam dianut banyak etnis, mulai dari keturunan orang Jawa yang dibuang Belana, Moors, dan orang-orang India.
Lainnya adalah Kaffirs, etnis campuran Portugis dan budak Bantu, yang beragama Katolik dan Kristen.
Mayoritas Sinhala dan pemeluk Buddha seolah tidak ingin hidup berdamping dengan semua, yang membuat Tamil Eelam pemeluk Hindu berusaha memisahkan diri. Perang dimulai 1983, dan berakhir dengan kekalahan Tamil Eelam tahun 2009.
Tiga tahun setelah pemerintah mengakhiri perlawanan Tamil Eelam, muncul BBS atau Buddha Force. Mereka meniru sukses Partai Bharatiya Janata (BJP), yang menghancurkan Masjid Babri untuk meraih penganut Hindu fanatik, dengan menyerbu sebuah masjid di Dambulla.
BBS mengklaim masjid di bangun di situs suci Buddha, dan harus dibongkar. Masjid terletak di tengah kota.
Berikutnya adalah aksi protes umat Buddha terhadap logo halal di makanan, Februari 2014. Otoritas Muslim menyerah, dan menghapus semua cap halal di kemasan produk makanan.
Terakhir, kekerasan terhadap Muslim terjadi di Aluthgama dan Beruwala. Kekerasan dimulai dengan pidato rasial Biksu Galagoda atthe Gnanasara. Massa BBS menyambut dengan sorak sorai, mengambil batu, dan melemparnya ke rumah-rumah penduduk Muslim.
“Beberapa penduduk lari ke Jamiya Naleemiya, perguruan tinggi milik orang Arab,” ujar Niyas Mohammad, pengacara yang tinggal di Beruwala — kota mayoritas Muslim di selatan Kolombo.
Ada insiden kecil yang melibatkan pengandara van dan sepeda motor. Yang satu Buddha, lainnya Muslim. Dalam van ada biksu yang berusaha menghentikan pertarungan.
“Biksu itu mengeluh ke polisi bahwa pihaknya diserang. Akibatnya, sang Muslim ditangkap poisi,” ujar Ahamed. “Pendukung BBS juga ditahan, tapi dibebaskan. Muslim tidak.”
Azad Salley, pemimpin Aliansi Persatuan Nasional dan anggota Dewan Propinsi Tengah, mengatakan pemerintah Sri Lanka tahu akan ada serangan ini, tapi menutup mata.
Salley juga mengeluhkan tidak adanya tindakan hukum bagi pelaku tindakan rasial, dan penggerak kerusuhan. Lebih menyedihkan lagi tidak ada hukuman bagi ketidak-adilan yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain.
Tidak seluru biksu setuju dengan tindak kekerasan BBS. Wathehene Vijitha Thero salah satunya. “Sinhala, Muslim, dan Tamil, memiliki hak hidup di negeri ini,” ujarnya.
Ada analisis menarik soal ini. BBS ada karena pemerintah menginginkannya. Tujuannya tidak diketahui. Sebagai pemerintah yang memenangkan perang, rejim berkuasa seolah ingin menciptakan konflik baru dan mengelolanya.
Hotelier Mevan Peiris, etnis Sinhala yang tinggal di Sri Lanka, mengatakan; “Kami tumbuh dalam ajaran Buddha yang dibimbing para biksu. Kami melenadani biksu. Kami malu melihat biksu mengobarkan kekerasan.” [tst]