Diduga Sering Disalahgunakan, BPOM Cabut Ijin Edar Obat Desktrometorfan Tunggal

867

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memberikan tenggang waktu penarikan obat yang mengandung dekstrometorfan tunggal dari pasaran hingga 30 Juni 2014. Obat yang kini disalahgunakan sebagai pengganti putaw dan ganja tersebut secara resmi dilarang peredarannya sejak 27 Juni 2013 berdasarkan Keputusan Kepala BPOM No HK.04.1.35.06.13.3534 tahun 2013 tentang Pembatalan Izin Edar Obat Mengandung Dekstrometorfan Sediaan Tunggal.

“Waktu efektif bagi produsen farmasi untuk menarik produknya dari pasaran tinggal sebulan lagi. Kami akan bekerjasama dengan kepolisian untuk mengawasinya dilapangan,” papar Direktur Pengawasan Napza BPOM Dra Utami Ekaningtyas Apt,MM
disela diskusi forum wartawan peduli hukum dan keadilan (Forwat PHK) bertema pentingnya perlindungan hukum terhadap konsumen konsumen berkaitan dengan penggunaan zat berbahaya pada obat-obatan: sosialisasi terhadap penarikan zat berbahan dekstrometorfan tunggal.

Dekstrometorfan diakui Ekaningtyas sebenarnya adalah obat anti pusing untuk menekan batuk. Tetapi belakangan, obat tersebut banyak disalahgunakan sebagai pengganti putau, shabu, ekstasi, valium dan ganja.
“Pada obat, biasanya kandungan dekstrometorfan hanya 15 mg. Tetapi kemudian orang pakai sampai 20 hingga 50 biji sekali telan sehingga menimbulkan efek fly,” lanjut Ekaningtyas.

Laporan Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan bahwa penggunaan dekstrometorfan dikalangan remaja dan pelajar terus meningkat. Tahun 2010 ditemukan 5,9 persen dan pada 2011 meningkat mejadi 9,7 persen.

Menurut Ekaningtyas, ada beberapa alasan mengapa dekstrametorfen banyak disalahgunakan. Diantaranya efek halusinasi dalam dosis yang tinggi hampir setara dengan putau atau ganja, harganya relative murah, mudah diperoleh di apotek dan toko obat, pengawasan kurang ketat mengingat dekstrametorfen tergolong obat bebas terbatas berlogo lingkaran biru tua.
“Selain itu desktrometorfan bisa dibeli dalam kemasan kecil berupa strip/blister 10 x 10 tablet maupun hospital pack berupa botol berisi 1000 tablet,” tukas Ekaningtyas.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar mengatakan kasus penyalahgunaan dekstrometorfan hampir terjadi diseluruh wilayah tanah air. Bahkan di Jawa Barat, status penyalahgunaan desktrometorfan sudah mencapai tingkat Kejadian Luar Biasa atau KLB.

Ia mengaku sejauh ini dekstrametorfan sejauh ini memang belum masuk sebagai narkotika sesuai dengan UU no 35 tahun 2009. Tetapi sebagai jenis obat yang merusak kesehatan, pemerintah dalam hal ini BPOM memiliki alasan kuat untuk menarik peredarannya atas dasar Undang-Undang Kesehatan nomor 36 tahun 2009.

Sementara itu Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Huzna Zahir mengaku heran mengapa penarikan ijin edar dekstrametorfan tidak dipublikasikan secara luas oleh BPOM. “Saya sangat kesulitan untuk mendapatkan dokumen terkait pencabutan ijin edar dekstrametorfan,” jelasnya.
Selain itu, ia juga heran mengapa BPOM memberikan tenggang waktu begitu lama hingga setahun bagi industri farmasi untuk menarik produk yang sudah dicabut ijin edarnya. Sebab, hal itu akan memungkinkan penyalahgunaan dan penimbunan obat itu oleh oknum-oknum tertentu.

“Atau ini karena adanya lobi dari perusahaan-perusahaan farmasi, karena obat yang beredar belum habis?” lanjut Huzna.
Ia berharap BPOM lebih aktif untuk mempublikasikan terkait larangan edar bagi obat-obatan yang mengandung dekstrametorfan tunggal kepada masyarakat, sehingga masyarakat bisa ikut mengawasinya dilapangan.
(inung/sir)

Comments are closed.