Pasca berdirinya PT Krakatau Posco dengan mendatangkan Wakil Presiden RI Boediono yang hadir untuk mencanangkan berdirinya PT. Krakatau Posco hasil patungan (Joint Venture Company) antara PT. Krakatau Steel Tbk. and POSCO Korea pada 1 Juli 2011 silam, rupanya banyak menciptakan ‘rasa’ yang negatif bagi warga sekitar.
Tengok saja berita kejadian kriminal ter update yang baru-baru telah dilakukan seorang warga gingseng itu, pada senin, 4 November 2013, Seorang wanita berinisal SH (35), warga Kelurahan Jombang Wetan, Kecamatan Jombang, Kota Cilegon. Menjadi korban pemukulan, penyekapan dan penculikan yang dilakukan oleh salah seorang ekspatriat asal Korea Selatan berinisial P.
Kejadianya berawal dari perkenalan korban dengan seorang warga berkebangsaan korea yang berlanjut pada ketertarikan sang mister korea itu kepada warga lokal, namun tak disangka ketertarikan orang korea itu rupanya memicu adrenalin yang kuat dan tak tertahankan, yang memaksa sang mister korea itu berbuat diluar kepantasan dan kasar dengan menculik dan menyekap pujaan hatinya.
Dan bukan hanya itu saja yang dilakukan oleh sang psikopat tersebut bahkan menjambak dan menganiaya seorang wanita yang di ‘minatinya’ itu sehingga mengakibatkan korban menderita luka dibeberapa bagian tubuhnya akibat siksaanyang dialaminya selama dalam penyekapan, beruntung ada sejumlah elemen masyarakat yang tergabung dalam tim LBH mendampingi korban agar mendapatkan perlindungan dan bantuan hukum.
Lalu apa yang dapat kita ambil pelajaran dari kejadian itu?
Beberapa persoalan belakangan mulai muncul setelah kejadian ironis tersebut, sejumlah penggiat sosial seperti LSM dan Ormas serta Tokoh Masyarakat dan agama mulai bersuara dan bergerak menindak lanjuti kasus yang membuat miris itu. Betapa tidak, warga korea yang notabene keberadaannya ditanah Banten ini adalah untuk mencari nafkah di bumi pertiwi ini nyatanya malah tanpa sungkan berbuat semaunya dengan menjadikan kota ini bukan saja untuk mengeksploitasi kekayaan alam buatan yang ada disekitar tapi juga mereka mengeksploitasi seksual dengan cara yang tidak sah, bukan saja secara hukum tapi juga agama pun dilanggarnya.
Kota Cilegon dulu sempat menyandang gelar sebagai ‘kota Santri’ karena konon dulu dalam cerita historikal perjuangannya tak lepas dari banyaknya para santri yang bahu membahu mengusir penjajah Belanda, namun belakangan kota ini lebih dikenal sebagai kota Baja, karena dewasa ini banyak dikelilingi industrialisasi perusahaan bertaraf internasional, dan itu bisa terlihat sepanjang jalan Cigading sampai Ciwandan dan sebagian daerah Merak, belum lagi ada daerah otonom yang disebut kawasan Industri yang bernaung dalam satu panji yang bernama PT Krakatau Steel (KS Group) perusahaan penbuat baja dan sejenisnya.
Kembali ke topik mengenai keberadaan warga Negara Korea yang bekerja di PT Posco, dalam perkembangannya banyak menyisakan cerita ironi yang bermuara kepada persoalan sosial dan seksual, bahkan penulis pernah menyaksikan sendiri pada satu malam diperempatan Simpang tiga Cilegon tepatnya disekitaran warung sepanjang jalan depan masjid Alhadid, saat itu ada seorang warga Korea yang sedang ‘melobi’ seorang perempuan malam, setelah terjadi banyak percakapan akhirnya sang korea itu meninggalkan wanita penghibur tersebut lantaran tidak ada kecocokan harga alias harga yang ditawarkan sang korea itu menurut informasi terlalu murah berkisar Rp 100-150.000,-.
Persoalan moralitas tentu saja menjadi judul besar yang harus dicari solusi dan jawabannya, sebab saat para lelaki korea yang konon katanya berperanggai kasar dan temperamental itu berbondong-bondong menyerbu kota baja Cilegon ini pastinya menyisakan permasalahan utama para lelaki, yaitu kebutuhan seksual yang pastinya harus terpenuhi. Dan kota ini yang selalu ‘welcome’ dengan para mata sipit itu tentu harus menanggung konsekuensi terberatnya yaitu akan banyak memunculkan persoalan moralitas atau lebih tepatnya lagi urusan esek-esek, dan sudah siapkah kota kita menanggungnya???